Oleh:
Dr. Ir. KH. Sholahuddin Wahid (Gus Sholah)
Pengasuh Pondok Pesantren Tebu lreng Jombang
Bangsa Indonesia lahir karena adanya kebutuhan bersama untuk merdeka di dalam diri warga yang hidup di wilayah Nusantara. Untuk bisa mewujudkan bangsa Indonesia itu diperlukan landasan bersama yang sudah disepakati oleh para pendiri bangsa. Roh keindonesiaan termaktub dalam Pembukaan UUD yang mengandung Pancasila. Bangsa Indonesia memerlukan suatu wahana untuk mewujudkan cita-cita sebagai bangsa, yaitu negara yang tujuannya dijelaskan didalam Pembukaan UUD. Negara yang kita dirikan ialah NKRI. Negara membutuhkan penyelenggara, yang kita sebut pemerintah, DPR serta lembaga yudikatif. Penyelenggara negara terdiri dari pejabat negara dan birokrasi. Penyelenggara negara itulah yang secara nyata menentukan maju dan tidaknya bangsa dan negara.
Bung Karno mengenal Islam melalui HOS Tjokroaminoto, yang lebih menggunakan simbol Islam sebagai energi politik pembebasan, energi gerakan kebangsaan. Bung Karno memberi perhatian besar kepada Islam karena menganggap bahwa Islam memberi ruh anti penjajahan. Karena itu tokoh Islam yang menjadi rujukan Bung Karno ialah Jamaluddin al Afghani yang dikenal dengan gerakan pan Islamisme. Menurut Bung Karno, Jamaluddin al Afghani adalah yang pertama membangunkan rasa perlawanan di hati sanubari rakyat-rakyat Muslim terhadap bahaya imperialisme Barat. Al Afghani dimana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisme dan patriotisme. Karena pendekatannya bukan tauhid, Bung Karno bisa menerima Marxisme. Pada 1926 Bung Karno sudah menulis risalahnya yang terkenal yaitu "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme". Risalah Itu kemudian dikembangkan menjadi konsep NASAKOM.
Menurut Bung Karno dalam wawancara yang dimuat Panji Islam pada 1939, bahwa "Saya adalah murid dari Historische School van Marx". Wawancara Itu dilakukan setelah Bung Karno meninggalkan sebuah rapat umum Muhammdiyah sebagai protes terhadap dipasangnya tabir yang memmisahkan perempuan dan lelaki. Bagi Bung Karno, tabir Itu adalah simbol dari perbudakan perempuan. Sebagai seorang Marxis, menurut Bung Karno tafsir agama adalah contingent terhadap sejarah sosial dimana tafsir itu dikemukakan.
Bisa dipahami bahwa Bung Karno lebih merasa dekat dengan gerakan Islam reformis seperti Muhammadiyah. Islam NU dianggap Islam jumud oleh Bung Karno. Di dalam Muktamar Muhammadiyah, Bung Karno berdoa agar "bisa dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah diatas kafan". Bung Karno Juga menghargai gerakan Ahmadiyah karena sejalan dengan modernitas. Bung Karno tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad, bahkan belum tentu seorang mujaddid. Tetapi Bung Karno menyatakan mendapat banyak manfaat dari buku- buku Ahmadiyah. Meskipun Bung Karno sadar akan sikap negatif umat Islam terutama Muhammadiyah terhadap Ahmadiyah, Bung Karno tidak menutup mata bagi ide-ide yang dianggap baik dari Ahmadiyah, baik didalam pandangan seorang penganjur modernitas. Bung Karno juga mengeritik sikap Ahmadiyah yang mendukung imperialisme Inggris.
Dalam sebuah artikel panjang di Panji Islam pada 1940, Bung Karno mengutip kata-kata Zia Keuk Alp seorang penulis Turki (1876_1924): "Kita datang dari Timur, kita menuju ke Barat". Dalam tulisan itu Bung Karno memuji Revolusi Kemal di Turki yang memisahkan agama dari negara. Menurut Bung Karno jasa Wahabisme yang utama ialah kemurniannya, keasliannya, yang menggerakkan ummat untuk kembali ke asal, kembali kepada Allah, kembali kepada Islam seperti di zaman Rasul. Tetapi Bung Karno juga mengkritisi Wahabi. Meskipun pemurnian bermula sebagai kekuatan progresif-menolak takhayul dan bid'ah- tetapi pada perkembangannya kemudian menjadi kekuatan konservativ, bahkan reaksioner. Kembali pada Allah dan Rasul dapat juga berarti mengingkari garis dinamis sejarah. Kesimpulan Bung Karno: pemurnian bukan sebuah pilihan untuk membebaskan umat Islam dari keadaan "sebagai badan yang pingsan, mati tidak mati, hidup tidak hidup".
Oleh Karena itu, pilihan yang dianjurkan Bung Karno ialah rasionalisme. Menurut Bung Karno, rasionalisme kini diminta kembali lagi duduk diatas singgasana Islam. Kata "kembali lagi" tidak mengacu kepada Qur'an dan Hadith, melainkan ke sebuah zaman ketika "pahlawan-pahlawan akal" hidup bebas. Itulah zamannya kaum mu'tazilah, zaman al Kindi, al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Tufali, Ibnu Rushd. Kembali ke era ketika umat Islam membuka diri kepada filsafat Yunani, matematika Hindi dan sumber-sumber kelimuan lain dan pada gilirannya melahirkan filsafat, teori aljabar, logaritma, kimia dan kedokteran, astronomi. Eropa menyerap ilmu dari Islam dan kemudian mampu mengembangkannya.
Menurut Bung Karno penyebab kemunduran Islam ialah menguatnya Asy'arisme dan menurunnya penghargaan pada akal. Menurut Bung Karno, sejak itu Islam bukan lagi agama yang boleh dipikirkan secara merdeka, tetapi menjadi monopolinya kaum faqih dan tharikat. Pendapat Bung Karno itu tidak sepenuhnya benar.
Islam itu kemajuan, demikian isi surat Bung Karno kepada A. Hasan yang dimuat dalam Surat- surat dari Ende. Bung Karno berbicara banyak tentang "api Islam". Yang dimaksud ialah Islam yang seharusnya, bukan Islam yang ada yang hanya berupa abu, Islam yang tak hidup dan juga tak mati, Islam yang dirundung takhayul dan taqlidisme, yang dihambat hadramautisme yang jumud. Bung Karno mencoba meyakinkan adanya Roh Islam yang sejati atau api Islam.
Menurut Emest Renan (1823-1892) yang sering disitir Bung Kamo, suatu bangsa adalah keinginan untuk hidup bersama dan kesepakatan untuk berkorban. Renan juga menyampaikan pemikiran tentang "modal sosial" dan kesamaan ciri suatu bangsa: memiliki kejayaan yang sama pada masa lalu dan memiliki keinginan yang sama pada saat ini. Rumusan lain tentang bangsa yang juga dikutip Bung Kamo berasal dari Otto Bauer (1881 -1938). Politisi Austria itu menyatakan bahwa suatu bangsa adalah suatu masyarakat yang punya karakter sama, yang tumbuh dari satu masyarakat yang bernasib sama. Bung Hatta mengutip pendapat Profesor Kranenburg: "Bangsa merupakan keinsyafan (kesadaran), sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang muncul karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan tujuan bertambah besar karena persamaan nasib malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, dan oleh karena jasa bersama. Pendeknya oleh karena ingat kepada sejarah bersama yang tertanam dalam hati dan otak". Timbul pertanyaan: setelah 68 tahun merdeka, masihkah kita sebagai warga bangsa memiliki keinginan hidup bersama sekuat kita merebut kemerdekaan pada tahun 1945?
Penjajahan terhadap berbagai kerajaan di wilayah Nusantara sudah berjalan sangat lama. Tetapi tidak benar bahwa kita telah dijajah Belanda selama 350 tahun. Tidak seluruh wilayah Nusantara berhasil dijajah oleh Belanda. Perlawanan oleh para raja juga terjadi di banyak tempat, tetapi tidak berhasil. Kesadaran dan keinginan untuk memperoleh kemerdekaan sudah ada di dalam diri warga yang hidup di wilayah Nusantara, dan sudah disadari bahwa harus ada persatuan diantara seluruh warga di seluruh Nusantara. Hanya mereka belum tahu bagaimana cara memperolehnya dan seperti apa hasil dari perjuangan bersama itu.
Proses kebangkitan politik masyarakat yang pluralistik mulai muncul pada 1912 waktu Indische Party didirikan oleh Dr. Emest Douwes Dekker, Dr Tjiptomangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat, yang merupakan pemuka dari tiga organisasi yang berbeda. Douwes Dekker dari Insulinde Partij yang memperjuangkan emansipasi turunan Belanda dan Indo dari perlakuan diskriminasi Belanda totok, Tjiptomangoenkoesoemo dari Boedi Oetomo yang kental dengan primordialisme Jawa dan Soewardi Soeryaningrat pendiri Taman Siswa. Yang luar biasa, ketiganya melepaskan diri dari ikatan ketertutupan dan mulai mengembangkan masyarakat pluralistik. Menurut Bung Kamo, Bapak Nasionalisme Indonesia ialah EFE Douwes Dekker yang kita kenal sebagai Setia Budhi. Ketiga tokoh tersebut diatas telah berpikir tentang suatu bangsa yang bukan diikat oleh sentimen primordial, kesamaan agama atau geografis, melainkan proklamasi sederhana tentang rasa kesetiakawanan bangsa yang membebaskan kita dari penjajahan.
Nama Indonesia mulanya bernuansa geografis. Baru antara 1903-1913 diberi makna politis oleh Abdul Rivai, Abdoel Moeis, Soewardi Soeryaningrat, Douwes Dekker, Tjiptomangoenkoesoemo, Ratulangie, dll. Tahun 1922 sejumlah mahasiswa dari berbagai suku bangsa yang sedang belajar di Belanda mengubah nama perkumpulan mereka. De Indische Vereniging menjadi Perhimpunan Indonesia. Bung Hatta dan kawan- kawan melalui PI itu menerbitkan jurnal Indonesia Merdeka. Mahasiswa Jawa di Al-Azhar Kairo pada 1922 bergabung dalam Kesejahteraan Mahasiswa Jawa di Al Azhar. Mereka juga membaca jurnal Indonesia Merdeka. Pernyataan prinsip Perhimpunan Indonesia perlu kita catat: "Masa Depan bangsa Indonesia hanya terletak pada didirikannya satu bentuk pemerintahan yang bertanggungjawab pada amanat rakyat karena hanya bentuk pemerintahan itulah yang bisa diterima. Hanya Indonesia yang bersatu dan mengenyampingkan perbedaan yang mampu mematahkan kekuatan penguasa yang menjajah. Tujuan bersama Perhimpunan Indonesia berdasar pada kesadaran dan bertumpu pada kekuatan aksi massa nasionalistis.
Dalam Kongres Pemuda ke 1 dan ke 2 terjadi proses transformasi dari orientasi kedaerahan menuju orientasi keindonesiaan. Kongres Pemuda pada 1928 menjadi wadah bagi sejumlah pemuda terpelajar sebagai representasi dari ratusan suku bangsa di seluruh Nusantara untuk mengambil sumpah bahwa mereka mempunyai satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa yaitu Indonesia. Pencapaian bahasa Melayu yang dinamakan bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan dari warga yang berasal dari ratusan suku bangsa adalah sesuatu yang amat monumental.
Para pendiri bangsa menyadari realitas kemajemukan dan kebhinekaan bangsa Indonesia. Kita berterima kasih kepada Bung Kamo yang telah menggali Pancasila dari bumi Indonesia. Dan juga berterima kasih kepada para pendiri bangsa yang telah menerima Pancasila sebagai dasar negara. Kita bersyukur bahwa sejak tahun 1985 semua ormas Islam yang besar dan parpol Islam telah menerima Pancasila setelah Muktamar NU menghasilkan dokumen Hubungan Islam dan Pancasila. Dokumen tersebut disusun oleh suatu Tim yang dipimpin oleh KH Ahmad Siddiq, tokoh ulama NU dari Jember. Atas jasa tersebut, KH Ahmad Siddiq berhak menjadi Pahlawan Nasional. Pada 2008 saya telah menyampaikan kepada PCNU Jember dan keluarga beliau untuk mengambil langkah mengusulkan KH Ahmad Siddiq menjadi Pahlawan Nasional, tetapi sampai hari ini belum jelas bagaimana hasilnya. Ada baiknya Universitas Jember mengajak PCNU dan keluarga untuk mewujudkan usul tersebut.
Pada 17 Agustus 1945 diwakili oleh Bung Karno dan Bung Hatta, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan. Itu berarti secara resmi bangsa Indonesia yang tercetus sejak 1928 lahir ke bumi. Bangsa Indonesia tidak akan bisa mengaktualisasikan diri tanpa adanya negara. Maka pada 18 Agustus 1945 dinyatakan berdirinya negara Republik Indonesia dalam Pembukaan UUD yang mengatur tujuan Negara Indonesia dan batang tubuh UUD yang mmengatur dasar-dasar dari peraturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
NKRI menjadi semacam mantra atau jimat yang sering diucapkan tanpa memahami maknanya dengan benar. Negara kesatuan disebut dalam pasal 1 angka (1) UUD yang berbunyi: "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan Yang berbentuk Republik". Kata kesatuan adalah lawan dari negara federal. Kesatuan Indonesia selama ini dimaknai semata-mata sebagai kesatuan wilayah geografis. Seharusnya kata kesatuan itu juga dimaknai sebagai kesatuan non-fisik yaitu kesatuan cita-cita (yang terkandung didalam Pembukaan UUD), kesatuan harapan dan kesatuan nasib seluruh warga negara Indonesia.
Kesatuan dalam arti non-fisik belum terwujud, bahkan kata WS Rendra dapat dihancurkan oleh Pemerintah dengan kebijakan yang salah. Dalam pidato kebudayaan di Pergelaran Kraton Yogya (20 Agustus 1998), Rendra menyatakan bahwa "Kebangsan Indonesia adalah ciptaan rakyat Indonesia, bukan ciptaan Pemerintah Indonesia yang tinggal mewarisi saja dari rakyat Indonesia. Pemerintah jangan gede rasa dan mengira tanpa pemerintah tidak ada persatuan dan kesatuan. Justru Pemerintah yang mengacaukan rasa berbangsa".
Kesatuan non fisik itu tidak akan terwujud jika kita tidak mampu memenuhi rasa keadilan (baik hukum maupun sosial ekonomi), melindungi hak asasi manusia (sipil politik dan ekonomi, sosial budaya). Kesatuan non fisik itu hanya bisa diwujudkan bila kita mampu menegakkan hukum termasuk memberantas korupsi, memperbaiki atau menjalankan reformasi birokrasi (sebab birokrasi dan pejabat negara dan pemerintahlah yang menurut Rendra bisa merusak rasa berbangsa).
*Materi yang disampaikan oleh Gus Sholah dalam pengajian "Haul Bung Karno dan Para Pendiri Bangsa" bertempat di Masjid Al-Hikmah
Universitas Jember pada tanggal 21 Juni 2013.